“Siapa namanya?” tanyaku pada salah seorang temanku, sambil
menunjuk seorang lelaki yang sedang berolahraga di lapangan. Yang kutahu ia
adalah anak kelas sebelah.“Yang memakai kaus biru itu? Jey. Kenapa Lin?”
Senyum penuh arti tak sadar kulakukan, sampai aku sadar Rara menunggu
jawabanku.“Yah? Tidak apa-apa, aku hanya bertanya.”Beberapa hari setelah awal
masuk liburan semester 2, seorang anak laki-laki yang baru kuketahui ternyata
bernama Jey muncul dan mencuri perhatianku. Tak perlu waktu lama, aku pun mulai
penasaran akan dirinya. Setiap hari kulihat semua status-statusnya yang ia
tulis di akun facebook&twitternya dan berusaha untuk memahami dan menjawab
setiap pertanyaan yang ia tulis, meski aku tahu itu bukan untukku.
Suatu hari keinginanku untuk dekat dengan Jey menjadi semakin besar. Tidak,
tidak untuk menjadi pacarnya.“Kirim email saja supaya dia bisa mengenaliku.”
ucapku tersenyum dan mulai mengetik dan merangkai kata demi kata. Hari demi
hari berlalu dengan indah, Jey selalu hadir untuk aku kagumi. Entah ini hanya
perasaan atau memang benar, ia melihatku di setiap pertemuan yang kubuat tak
sengaja ini. Ternyata, ia menyadari kehadiranku, aku begitu gembira! Gembira
yang tak dapat kutunjukkan di hadapannya. Sampai suatu hari, temanku
memberitahuku bahwa Jey sedang mendekati Amelia, seorang gadis manis dan
populer yang sering mendapat perhatian lelaki.Aku sadar, di sini aku hanya
berperan sebagai pengagum rahasia, bukan menjadi tokoh utama dalam kehidupan Jey.
Aku pun memutuskan untuk mundur dan melupakan Jey secara perlahan, walaupun
kutahu cinta Amalia sudah untuk lelaki di kelasku.
Di suatu pagi, acara perpisahan untuk kelas IX yang diadakan di sekolahku
digelar. Terbesit di pikiranku untuk bisa berfoto dengan Jey, tapi ide ini ku
tepis jauh-jauh. Sudut mataku mencari-cari kehadirannya saat acara sudah
dimulai. Aku berdiri di lantai atas sekolahku saat sebuah suara yang kukenal
menggema, ya, itu Jey di atas panggung sedang bernyanyi seorang diri dan menciptakan
momen tak terlupakan untuk acara ini! Kemeja abu-abu dan jas krem tampak
melekat dan sangat serasi di tubuhnya.
Alunan nada yang ia dendangkan sungguh membuatku tersenyum, entah apa makna
dari sebuah senyumanku. Aku melihatnya yang tersenyum dan mengenakan pakaian
yang sungguh membuatnya semakin tampan.
Acara demi acara berlalu, tapi aku dengan setia menunggu sampai akhir acara
saat semua orang sedang sibuk mengabadikan momen bahagia ini. Kulihat banyak
teman-temanku mengabadikan momen melalui sebuah pose bersama adik kelas 7 &
8, membuat ide yang tadi kutepis jauh-jauh kini kembali muncul dan memaksaku
untuk melakukannya.
Kuajak temanku untuk meminta Jey tersenyum sekejap bersamaku yang diabadikan
oleh satu kali jepretan. Setelah tekadku sudah bulat, kucari Jey dari ujung ke
ujung. Sampai tiba saatnya aku memintanya untuk berfoto denganku. Ini adalah
foto yang pertama dan mungkin yang terakhir pula. Aku tak perlu malu untuk
mengajaknya berfoto karena memang sudah banyak teman kelasku yang mengajaknya berfoto
bersama. Jey memang cowok yang paling dikagumi di kelasku, ya, termasuk olehku.
Saat aku memintanya untuk berfoto, tak ada sepatah kata dan senyum darinya, tak
kuambil pusing asalkan ia bisa tersenyum bersamaku. Satu kali jepretan
membutuhkan waktu yang lama karena kegrogianku dan juga temanku. Akhirnya
sebuah kenangan dan impian yang dari dulu aku inginkan kudapatkan. Kuucapkan
terima kasih padanya dan kuajaknya mengobrol, tidak, ini hanya ada dalam
pikiranku dan tak ada maksud untuk mewujudkannya karena aku tak mempunyai
keberanian itu.
Foto yang kudapat tak henti-hentinya kuperlihatkan pada semua teman yang aku
temui, bahkan dunia pun akan kuberitau, tapi tentu saja aku tak ingin Jey
mengetahui apa yang aku lakukan saat ini. Bahkan aku pun memajang foto ini di
Instagram meskipun foto yang sebenarnya tidak sempurna ini karena aku tersenyum
begitu kaku dan Jey mungin bisa dikatakan tak berekspresi. Menurutku
kemungkinan ia terkejut karena secara terang-terangan aku megajaknya berfoto
karena kutahu ia mengetahui keberadaanku jauh-jauh hari.
Senyum tak pernah luntur sesudah aku berfoto dengan Jey. Ketika sebuah masalah
menerpa, di saat aku melihat foto itu, aku tersenyum dan siap untuk
menyelesaikan masalahku.
Setelah acara perpisahan itu, tiba saatnya pengumuman kelulusan bagi kelas IX
yang berarti perpisahanku dan Jey semakin dekat. Ia berbaris di jajaran
ujung tempat kelasnya. Kuawasi Jey lewat sudut mataku dari lantai atas
sekolahku. Saat semua teman-temanku bergembira mengetahui mereka menuntaskan pendidikan
di almamater tercinta ini, aku pun bahagia sampai ingin rasanya kuteteskan
sebutir air dari mataku dan tentu saja ingin kuucapkan selamat dan doa-doaku
pada Jey.
Aku tak tau apakah aku akan berjumpa dengannya lagi jika tidak disekolah.
Mungkin ia akan merantau jauh dari sekolah seperti yang dilakukan banyak orang.
Entahlah, aku merasa Jey special buatku meski ia tak melakukan suatu hal khusus
buatku.Inilah akhir cerita dari seorang gadis remaja bernama Oline, iya itu
aku. Yang gagal untuk mewujudkan keinginannya mendekati Jey karena keterbatasan
waktu dan juga keterbatasan ruang yang mempengaruhi kelancaran hubungan ini.
Karena dari sebuah pertemuan, akan terlahir pula sebuah perpisahan yang mungkin
tak seorang pun rela untuk bertemu dengannya. Mungkin Tuhan belum
mengizinkannya, mungkin tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya ada rencana
indah Tuhan dibalik ini semua.
0 komentar:
Post a Comment